AI untuk Sensor Film yang Adil dan Transparan
Jakarta, 13 November 2025 – Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) bersama Pusat Artificial Intelligence Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar kegiatan Persiapan Penyusunan Naskah Akademik Rencana Pengembangan dan Penerapan Teknologi Kecerdasan Buatan di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Kegiatan ini menjadi langkah awal menuju modernisasi sistem sensor film nasional berbasis teknologi akal imitasi (AI) untuk meningkatkan efisiensi, akurasi, dan keadilan dalam proses penyensoran.
Wakil Ketua LSF Noorca M Massardi yang membuka kegiatan, menekankan pentingnya kesiapan lembaga menghadapi perubahan regulasi di era digital, mengingat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman belum menjelaskan secara jelas apa yang dimaksud dengan jaringan teknologi informatika (JTI).
“Namun, jika ke depan seluruh konten di jaringan OTT (over-the-top) diwajibkan disensor, kita harus siap secara sistem dan kebijakan,” paparnya.
Noorca juga mengingatkan bahwa penerapan AI harus menjadi alat bantu, bukan pengganti peran manusia. “Kita jangan sampai kehilangan fungsi tenaga sensor. Teknologi harus menjadi penerang, bukan penghapus peran manusia,” tambahnya.
Selanjutnya, Nugraha Priya Utama dari Pusat AI-ITB memaparkan, sistem sensor manual yang selama ini diterapkan tidak lagi efisien untuk menghadapi ledakan jumlah konten digital. “Kita ingin sistem sensor yang efisien, adil, dan berintegritas. AI tidak menggantikan manusia, tetapi memperkuat keputusan manusia melalui data dan algoritma yang transparan,” jelasnya.
Penerapan teknologi seperti convolutional neural network (CNN) dan long short-term memory (LSTM) yang digunakan untuk menganalisis gambar, suara, serta teks dalam film, lanjut Nugraha, diharapkan mampu mendeteksi adegan kekerasan, pornografi, maupun ujaran kebencian dengan tingkat akurasi tinggi. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan manusia melalui sistem human-in-the-loop untuk menjaga konteks budaya dan nilai-nilai Indonesia.
Beberapa tantangan utama juga dibahas, antara lain bias data pelatihan, keterbatasan konteks budaya lokal, dan perlunya mekanisme audit serta pelatihan SDM berkelanjutan. “AI tidak bisa memahami makna simbolik atau semiotik film tanpa bimbingan manusia. Karena itu, kolaborasi antara lembaga sensor dan akademisi menjadi kunci,” jelas Nugraha. (Fay/Nuz)