Problematika rokok di Indonesia terus menuai pro dan kontra. Menurut WHO, Indonesia adalah negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia, setelah China dan India. Peningkatan perokok itu berdampak pada semakin tingginya jumlah penyakit dan angka kematian akibat merokok. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 mencatat, sebanyak 85% rumah tangga di Indonesia terpapar asap rokok. Diperkirakan, sekitar delapan perokok aktif meninggal dan seorang perokok pasif meninggal akibat terpapar asap rokok. Menurut perhitungan rasio itu setidaknya sekitar 25 ribu kematian terjadi akibat asap rokok orang lain. (sumber : pusdatin.kemenkes.go.id)

Lima tahun kemudian, Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, mencatat adanya peningkatan prevalensi merokok pada penduduk usia 10 tahun. Dari sebesar 28,8% pada 2013, meningkat menjadi 29,3% pada 2018. Kebiasaan merokok, itu ternyata tidak hanya dilakukan orang dewasa, tetapi juga semakin banyak dilakukan kalangan remaja dan anak-anak. Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya jumlah prevalensi merokok pada usia 10 – 18 tahun. Bila pada 2013 tercatat hanya 1,9%, namun pada 2018 jumlah perokok muda usia meningkat sebesar 7,2% menjadi total  9,1%.

Masyarakat mengonsumsi rokok karena faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain, akibat rasa ingin tahu dan ingin mencoba. Sedangkan faktor eksternal muncul antara lain, akibat pengaruh lingkungan rumah dan pergaulan individu. Termasuk akibat arus informasi dari pelbagai media, seperti iklan, cuplikan film, baliho, banner dan konten media sosial. Karena itulah Pemerintah kemudian mencoba melakukan pengendalian iklan produk tembakau dengan menerbitkan Peraturan Pemerintahan No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Yang dimaksud dengan pengendalian iklan produk tembakau tersebut, terutama ditujukan terhadap media cetak, media penyiaran, media teknologi informasi, dan / atau media luar ruang (Pasal 26 ayat 1). Hal itu dipertegas lagi dengan Pasal 39, yang menyatakan setiap orang dilarang menyiarkan dan menggambarkan dalam bentuk gambar atau foto, menayangkan, menampilkan atau menampakkan orang sedang merokok, memperlihatkan batang rokok, asap rokok, bungkus rokok atau yang berhubungan dengan produk tembakau serta segala bentuk informasi produk tembakau di media cetak, media penyiaran, dan media teknologi informasi, yang berhubungan dengan kegiatan komersial/iklan atau membuat orang ingin merokok.

Untuk melaksanakan PP 109/2012 itulah maka semua media tersebut kemudian diawasi oleh beberapa lembaga terkait, antara lain Lembaga Sensor Film (LSF) untuk film -film iklan sebelum tayang, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengawasi semua konten  media penyiaran sesudah tayang.

Penayangan iklan di televisi misalnya, harus tetap mematuhi regulasi terkait pembatasan wujud rokok itu. Undang–Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Pasal 46 ayat 3 (c) menyatakan, siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok. Sedangkan PP No. 109/2012 Pasal 29 menegaskan, penayangan iklan produk tembakau di media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.

Sementara itu, konten yang ditampilkan di bioskop, televisi dan jaringan informatika, dilarang mengandung isi yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009  Tentang Perfilman. Pada Pasal 6 butir (a) dinyatakan, “Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang: mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.” Kandungan zat adiktif itu terdapat pada rokok atau disebut dengan merk produk tembakau. Sebagaimana dijelaskan dałam PP No. 109/2012 Pasal 27 butir (c), pengendalian iklan produk tembakau antara lain dilakukan dengan tidak memperagakan,  menggunakan dan / atau menampilkan wujud atau bentuk rokok atau sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan merk produk tembakau.

Berdasarkan regulasi pembatasan wujud rokok di pelbagai media di Indonesia, itu maka apabila produser rokok ingin memproduksi sebuah film iklan / film cerita, baik dengan identitas jelas atau pun tersamar, maka harus memenuhi syarat yang sesuai Etika Pariwara Indonesia. Sebab, sebagaimana disiarkan kbr.id, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah melakukan pemblokiran terhadap iklan rokok di internet pada 13 Juni 2019.

“Tim AIS (mesin penelusurkonten) Kemkominfo langsung melakukan crawling dan ditemu-kenali sejumlah 114 kanal (Facebook, Instagram  dan YouTube) yang jelas melanggar Pasal 46, ayat 3 butir (c) UU 36/2009 tentang Kesehatan, terkait “promosi rokok yang memperagakan wujud rokok,” kata Plt Kepala Biro Kumas Kemkominfo, Ferdinandus Setu.

Toh, hingga kini masih banyak media yang menampilkan atau memeragakan wujud rokok, meski sudah ada pelbagai regulasi tentang itu. Sehingga, lembaga-lembaga terkait pengawasan, perlu meningkatkan perhatiannya dalam menjalankan regulasi terhadap pelbagai iklan produk rokok tersebut. Antara lain di kanal YouTube. Sebab, kendati ada fitur pembatasan usia di YouTube, saat ini banyak anak–anak yang sudah paham cara mengakses internet. Bila kurang pengawasan dari orang tua, dan tidak ada upaya untuk melakukan budaya sensor mandiri di dalam keluarga, maka baik anak-anak maupun remaja, dapat terpengaruh oleh pelbagai konten negatif yang ditayangkan di semua platform media sosial. (Teti Kurniasih)