105 TAHUN SENSOR DI INDONESIA
Pasal 57 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyebutkan, setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.
Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) adalah surat yang dikeluarkan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) untuk setiap film dan iklan film yang dinyatakan telah lulus sensor dan dapat dipertunjukkan.
Itulah definisi yang disebutkan di dalam Peraturan Lembaga Sensor Film Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan Klasifikasi Film dan Iklan Film Berdasarkan Penggolongan Usia Penonton. Artinya, seperti yang dimaksud Pasal 57 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, sebuah film atau iklan film tak boleh beredar tanpa STLS. Yang dimaksud dengan film di sini, tidak hanya yang beredar di bioskop, tetapi di mana pun.
Sampai sekarang ini LSF mengeluarkan STLS untuk film dan iklan film yang beredar di bioskop (termasuk di dalamnya drive-in), televisi, palwa (penjualan dan penyewaan), festival, dan jaringan informatika.
Sebagai apresiasi, sejak 2017, LSF menyelenggarakan Anugerah LSF yang tujuannya memberikan penghargaan kepada film layar lebar dan acara televisi yang selain isinya sesuai dengan pedoman penyensoran, juga tertib mencantumkan STLS.
Sejak Zaman Belanda
Masa penjajahan Belanda yang cukup lama di Indonesia meninggalkan pengaruh besar. Salah satunya di bidang kebudayaan, terutama film. Ordonansi Film 1916 pada 18 Maret 1916 merupakan undang-undang film yang mengatur tentang film dan penyelenggaraan usaha bioskop seiring dengan semakin banyaknya gambar idoep di Indonesia masa itu.
Dalam buku Bunga Rampai 100 Tahun Sensor Film di Indonesia (2016:26-27), dijelaskan bahwa pemerintah kolonial Belanda kemudian membentuk Komisi Pemeriksaan Film (Commissie voor de Keuring van Films), untuk menanggulangi pertunjukan gambar idoep yang tidak bermutu. Pembentukan Komisi Pemeriksaan Film tersebut sesuai dengan Ordonansi Film 1916 yang menyebutkan: “Gubernur Jenderal dapat menunjuk tempat di Hindia Belanda bagi pendirian Komisi Sensor Film dan Lembaga Komisi Sensor Film. Komisi ini terdiri atas lima anggota termasuk seorang ketua”.
Sejak itulah pemerintah kolonial Belanda mewajibkan penyensoran terhadap setiap film yang akan beredar. Pada perkembangan selanjutnya, tujuan sensor ketika itu, untuk melindungi masyarakat kulit putih dari amuk kaum pribumi. Pemerintah kolonial khawatir, bila tidak ada penyensoran film, bisa jadi muncul konten yang menyadarkan kalangan pribumi pada posisi sebagai jajahan Belanda. Karena itu, semua adegan kekerasan dan pemberontakan di dalam film, disensor.
Situasi yang disebutkan di atas, berlangsung hingga penyerahan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia pada 1949. Ordonansi Film 1916 mengalami tujuh kali pembaruan dalam kurun waktu 24 tahun, yaitu pada 1919 (pembentukan subkomisi di daerah), 1920 (penghapusan subkomisi di beberapa daerah), 1922 (kewajiban membayar biaya penilaian film).
Kemudian pada 1925 (tentang Komisi Penilaian Film Batavia sebagai satu-satunya komisi penilaian film di Hindia-Belanda), 1926 (untuk melengkapi Ordonansi Film tahun 1925), 1930 (tentang Hak Pemilik Film Mendapatkan Keterangan, antara lain alasan kenapa filmnya dilarang beredar), dan 1940 (tentang Film Commissie atau Komisi Film yang mewajibkan semua film disensor sebelum diputar untuk umum).
Menurut Nunus Supardi, budayawan dan mantan anggota LSF yang banyak meneliti tentang sensor film, meskipun Ordonansi Film mengalami tujuh kali pembaruan, pikiran pokoknya tetap pada Ordonansi 1916 yang dilengkapi Ordonansi Film 1940. Inilah yang kemudian menjadi pegangan Indonesia merdeka ketika membentuk Lembaga Sensor Film.
Sebagai catatan, pada 1942, ketika pemerintahan Hindia-Belanda menyerah kepada tentara pendudukan Jepang, Komisi Film dibubarkan. Kemudian Dinas Propaganda tentara pendudukan Jepang, Sendenbu, mengganti Komisi Film dengan Hodo-Dan. Pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan Republik Indonesia (1945-1946) juga tidak ada lembaga yang secara resmi menangani penyensoran film.
Barulah pada 1948 diberlakukan lagi Ordonansi Film 1940 yang lebih disempurnakan dan dimuat dalam Staatblad Nomor 155, yang menyatakan bahwa urusan pengawasan film dilakukan oleh Panitia Pengawas Film di bawah Directeur van Binnenlandsche Bestuur.
Untuk wilayah yang masih dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Yogyakarta, Dewan Pertahanan Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk Badan Pemeriksa Film yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Menteri Penerangan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1951 menetapkan film memiliki aspek pendidikan dan kebudayaan sehingga Panitia Pengawas Film dipindahkan ke bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K).
Dalam perkembangannya, pada 5 Agustus 1964, diterbitkanlah penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964. Penetapan Presiden tersebut antara lain menegaskan, “Film bukanlah semata-mata barang dagangan, melainkan alat penerangan”. Karena itulah, melalui Instruksi Presiden Nomor 012 Tahun 1964, urusan film dialihkan dari Kementerian PP dan K kepada Kementerian Penerangan.
Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 46/SK/M tahun 1965 mengatur bahwa penyelenggaraan sensor film dilakukan oleh lembaga bernama Badan Sensor Film (BSF). Badan Sensor Film mewajibkan seluruh bentuk program harus memiliki Surat Tanda Lulus Sensor terlebih dulu. Ketentuan itu dituangkan dalam peraturan pemerintah sehingga setiap program yang tidak memiliki Surat Tanda Lulus Sensor, royaltinya tidak akan dijual untuk disiarkan di Indonesia.
Pada 1968, Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 44/SK/M/1968 menetapkan bahwa BSF berkedudukan di Jakarta dan bersifat nasional, beranggotakan 25 orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua. Dalam perkembangannya, BSF kemudian berubah namanya menjadi Lembaga Sensor Film (LSF) pada 1992. Disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film.
Pada 1999, ketika Departemen Penerangan (Deppen) dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Pemerintah menempatkan LSF ke dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Lalu pada 2000, Lembaga Sensor Film dipindahkan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sampai kemudian pada 2005, status Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berubah menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan pada 2009, berubah lagi menjadi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, LSF tetap berada di lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada 2009 itu lahirlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.
Pergeseran dan perubahan itu membawa dampak terhadap posisi dan keberadaan LSF. Kendati Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan dengan tegas bahwa ihwal perfilman berada di bawah kementerian yang membawahkan masalah kebudayaan, urusan pembinaan industri perfilman masih tetap di bawah pembinaan Kementerian Pariwisata.
Pasca-reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) 11 Oktober 2011, Kemenbudpar, tempat selama ini LSF bernaung, berubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Bidang Kebudayaan dipindahkan ke Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang kemudian berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor B/307.1/M.PAN-RB/01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 27 Januari 2012, dengan resmi LSF berada di bawah Kemendikbud.
Gunting Sensor Sudah Disimpan
Sejarah tersebut membuat istilah “censor” dari Bahasa Belanda yang artinya “pengawasan atau pemeriksaan”, masuk ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “sensor” sampai sekarang. Inilah yang pernah diterima setengah hati oleh sebagian masyarakat film di Indonesia, dengan alasan kebijakan sensor adalah kebijakan feodal. Banyak yang menganggap sebutan “sensor” saja sudah sangat feodal.
Padahal, yang dilakukan Lembaga Sensor Film (LSF) sekarang sangatlah berbeda dengan LSF ketika masih bernaung di bawah undang-undang terdahulu. “Gunting sensor” sudah disimpan. Yang dilakukan sekarang lebih pada klasifikasi usia. Namun, surat izin yang dikeluarkan tetap bernama Surat Tanda Lulus Sensor (STLS), karena sesuai undang-undang, nama lembaga yang mengeluarkan STLS masih bernama Lembaga Sensor Film.