SENSOR FILM DALAM PERSPEKTIF HAK ANAK

Oleh: Dr. Naswardi MM.,ME
Pemenuhan hak dan perlindungan anak merupakan hak konstitusional anak yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28B Ayat (2): “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Hak konstitusi anak yang secara eksplisit dijamin dalam undang-undang dasar tersebut, menegaskan bahwa pemenuhan dan perlindungan anak menjadi arus utama dalam pembangunan. Bagian yang tidak terpisahkan dari pemajuan hak asasi manusia, khususnya hak asasi anak.
Salah satu hak asasi anak tersebut adalah hak menerima informasi, baik lisan maupun tertulis, sesuai dengan tahapan usia dan perkembangannya. Film dan iklan film merupakan salah satu sumber informasi dan hiburan yang sangat disenangi anak. Maka anak merupakan objek penerima pesan dan penerima informasi melalui film sebagai karya seni budaya, pranata sosial, dan media komunikasi massa.
Peran strategis perfilman dalam penyelenggaraan perlindungan anak sangat nyata karena melalui film, akhlak mulia anak, pendidikan, nilai budaya, dan kesejahteraan anak dapat dibangun dan ditanamkan. Karena itu, penyelenggaraan perfilman perlu diupayakan secara baik, berkualitas, berintegritas, dan ramah anak.
Penyelenggaraan perfilman yang ramah anak adalah kebutuhan mendesak dan penting. Mengingat anak adalah pelanjut dan penerus estafet kepemimpinan dan keberlangsungan negara, tubuh dan pikirannya perlu dijaga dari dampak negatif film dan iklan film. Salah satunya, melalui pembangunan sistem sensor film yang ramah anak.
Sensor Film dalam Perspektif Hak Anak
Hak anak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak, merupakan kewajiban negara yang direpresentasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Negara berkewajiban memenuhi, melindungi, dan menghormati hak asasi anak. Perspektif kewajiban negara, secara mandatori tercantum dalam hukum internasional dan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 17 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), yang berbunyi:
Negara para pihak mengakui fungsi penting yang dilaksanakan oleh media massa dan menjamin bahwa anak dapat memperoleh informasi dan bahan dari berbagai sumber nasional dan internasional, terutama sumber-sumber yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, spiritual dan moralnya, serta untuk kesehatan rohani dan jasmaninya.
Maka negara-negara para pihak harus mendorong media massa menyebarluaskan informasi yang sehat bagi anak, secara khusus memperhatikan kebahasaan (linguistik) anak dan mendorong pengembangan pedoman yang tepat untuk melindungi dari informasi dan bahan-bahan yang membahayakan kesejahteraannya.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996 sehingga punya kewajiban untuk melaksanakan ketentuan tersebut karena pemenuhannya memiliki kekuatan memaksa (entered into force).
Komitmen ratifikasi KHA yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya melalui inisiasi dan pembaharuan norma hukum perlindungan anak. Pemerintah Indonesia kemudian melakukan pembaruan dan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Kemudian direvisi lagi menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Semangat perlindungan anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, senafas dengan Undang-Undang Perfilman. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, menjelaskan, film sebagai unsur pokok dari kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton, meliputi penonton semua umur, 13 tahun atau lebih, 17 tahun atau lebih, dan 21 tahun atau lebih.
Penggolongan usia penonton merupakan bentuk keberpihakan negara dalam upaya perlindungan anak sehingga keberpihakan tersebut perlu diterjemahkan secara baik dalam kebijakan sensor film. Lembaga Sensor Film sebagai pelaksana mandat perlu membangun sistem sensor film yang ramah terhadap anak. Sistem sensor film yang ramah anak adalah sistem sensor yang mengedepankan prinsip pemenuhan hak dan kepentingan terbaik bagi anak. Melalui pendekatan Sistem Building Approach (SBA), yakni kesesuaian antarnorma/regulasi, struktur/aparatur, program dan anggaran dalam proses penyelenggaraan sensor film.
Pertumbuhan Film Anak di Indonesia
Berdasarkan profil anak Indonesia tahun 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan, 30,5% atau 79,9 juta jiwa penduduk Indonesia pada 2017 adalah anak-anak. Ini artinya, hampir satu di antara tiga penduduk Indonesia adalah anak-anak.
Besarnya kuantitas anak, seakan menitipkan pesan harapan karena kemajuan bangsa di masa depan terletak pada pundak anak-anak itu. Negara berkewajiban mengisi pikiran mereka dengan ilmu pengetahuan, mengisi hati mereka dengan kebaikan, serta mengisi tubuh mereka dengan gizi dan nutrizi karena masa anak-anak adalah golden periode (periode emas).
Sementara data profil anak tahun 2018, menjelaskan, 35,28% anak di Indonesia mengakses internet dengan tujuan untuk sosial media dan hiburan. Artinya, kebutuhan anak terhadap hiburan, khususnya film, cukup tinggi. Hal ini berkorelasi positif dengan pertumbuhan jumlah penonton film di Indonesia. Berdasarkan data LSF, penonton film di Indonesia pada 2018 lebih kurang 50 juta. Jumlah itu naik dibanding tahun 2017 yang hanya 42, 3 juta jiwa.
Sayangnya, kebutuhan anak terhadap hiburan dan film yang tinggi, belum diikuti oleh pertumbuhan film anak nasional. Data LSF menunjukkan jumlah film nasional tahun 2018 sebanyak 138 film, diperkuat dengan data Badan Ekonomi Kreatif, di antara film tersebut 46% adalah drama, 31% adalah film horor, 16% komedi, 2% laga, 2% thriller, 2% anak-anak, dan 1% film fantasi. Tampak terdapat kesenjangan yang nyata antara kebutuhan film anak dan ketersediaan film anak.
Kesenjangan ini tentu memiliki dampak negatif yang besar. Anak tidak mendapatkan hiburan dari film yang sesuai dengan usia dan perkembangannya, yang akibatnya anak berpotensi terpapar kekerasan, radikalisme, pornografi, berkonflik dengan hukum, tindakan asusila, serta perilaku tidak terpuji lain.
Pentingnya Kesadaran Budaya Sensor Mandiri Sejak Dini
Penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2015 menemukan, konsumsi anak terhadap informasi melalui media semakin beragam, bervariasi, dan meningkat baik dari sisi jenis maupun kuantitas.
Hasil penelitian menjelaskan, orang tua memberikan akses media kepada anak berupa handphone dan smarphone sebesar 74,3%, TV dalam kamar (14,3%), komputer tersambung internet (5,6%), komputer tablet (4,7%), media lain (1%). Sebaliknya, 44.4% orang tua menyatakan tidak memantau dan mengawasi penggunaan media yang diakses oleh anak. Baik itu smarphone yang tersambung internet maupun televisi.
Perubahan teknologi informasi yang begitu cepat juga berpengaruh terhadap perubahan pola edar film dan iklan film. Aplikasi film tumbuh seperti jamur di musim hujan dengan konten yang tidak terkontrol dan bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak. Sarat dengan kekerasan, pornografi, pornoaksi, diskriminasi, eksploitasi, kebencian, kriminalitas, horor, sadisme, dan perilaku negatif lain.
Permasalahan ini berkorelasi positif dan signifikan dengan kasus-kasus pelanggaran hak anak. Berdasarkan data KPAI tahun 2019, terdapat 4.369 kasus pelanggaran hak anak, dengan anak berhadapan dengan hukum sebagai kasus tertinggi (1.251 kasus). Di antaranya adalah kasus anak pelaku kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan narkoba,
Budaya sensor mandiri adalah solusi progresif yang harus terus disosialisasikan agar anak-anak secara sadar mampu memilih dan memilah tontonan sesuai usianya. Peningkatan kualitas literasi dan edukasi anak, akan menumbuhkan kesadaran kolektif bagi anak untuk tidak aktif menjadi konsumen film yang tidak sesuai dengan usianya. Karena itu, Lembaga Sensor Film penting. LSF perlu memaksimalkan, memasifkan, memperluas, serta fokus menyosialisasikan pentingnya budaya sensor mandiri sejak dini.