SAMPAI KAPAN JUDUL FILM INDONESIA NGINGGRIS?
Oleh: Rita Sri Hastuti (Anggota LSF)
Hari Sumpah Pemuda ke-93 pada 28 Oktober 2021, saatnya kita mengingat, apakah sudah melaksanakan isi Sumpah Pemuda: bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Apalagi tema Sumpah Pemuda tahun ini “Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh”. Menurut Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali, “Tema ini diambil untuk menegaskan kembali komitmen yang telah dibangun oleh para pemuda, yang diikrarkan pada tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda.”
Pertanyaannya kemudian, betulkah kita sudah menjalankan dengan baik ikrar Sumpah Pemuda? Paling tidak, komitmen dalam berbahasa Indonesia? Tampaknya masih berat. Bahkan belakangan dialog dalam film dan sinetron tak malu-malu menggunakan bahasa campur aduk yang seimbang – dalam istilah linguistik disebut alih kode – bahasa Indonesia dan Inggris. Antara lain, dalam sinetron Putri untuk Pangeran.
Yang sudah sejak lama menjadi keluhan, dan tak berkurang, penggunaan judul film dalam bahasa Inggris. Kecenderungan film Indonesia dengan judul bahasa Inggris diawali The Soul (2003), produksi PT Kharisma Starvision Plus dengan bintang Marcella Zalianty. Disusul Virgin (2004) yang disutradarai Hanny R. Saputra, juga karya PT Kharisma Starvision Plus. Film yang dibintangi Laudya Cynthia Bella itu meledak, bahkan pada FFI 2005 memenangi Piala Antemas 2005 sebagai Film Indonesia Terlaris 2004.
Ketika penulis mewawancarai Chand Parwez Servia, jawabannya, “Karena film tersebut berbicara tentang keperawanan, rasanya tidak enak kalau judulnya dalam bahasa Indonesia, Perawan, lebih enak menggunakan bahasa Inggris Virgin.” Selain itu, katanya, bila diekspor ke luar negeri lebih mudah. Jawaban lain, banyak di antara judul-judul tersebut diangkat dari novel dengan judul sudah berbahasa Inggris.
Undang-Undang Bahasa
Semakin banyak film Indonesia dengan judul bahasa Inggris. Pada 2005, antara lain Bad Wolves, Me vs High Heels, Mirror, Missing. Tidak heran, Mendiknas era itu, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA gusar. Ketika Pusat Bahasa (sekarang Badan Bahasa) menyelenggarakan seminar “Penggunaan Bahasa dalam Film, Sinetron, Televisi, dan Media Luar Ruang”, yang juga dihadiri Ketua dan anggota LSF masa itu Titie Said (almh) dan Rae Sita Supit (almh), Bambang Sudibyo mengungkapkan keprihatinannya.
“Penggunaan bahasa Inggris dalam judul film, sinetron, dan media luar ruang menggambarkan kegandrungan masyarakat terhadap budaya pop yang cenderung hedonis dan globalistis,” keluh Bambang Sudibyo. Ia kemudian mendesak Pusat Bahasa menyiapkan Rancangan Undang-Undang Bahasa untuk melestarikan warisan budaya bangsa. Undang-Undang Bahasa kemudian terbit pada 2009, tergabung dalam Undang-Undang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Sayangnya, dalam undang-undang tersebut, tak ada khusus bahasa film.
Yang ada, untuk media massa secara umum. Namun, bunyi pasalnya terkesan lemah: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa”. Kelanjutannya, “Media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus”. Dengan bunyi ayat kedua itu, judul film berbahasa Inggris menjadi sah.
Tinggal saja sejauh mana kita menghormati bahasa kita sendiri. Sebagaimana dikeluhkan Guruh Soekarnoputra. “Saya prihatin judul-judul film, judul-judul lagu, memakai bahasa Inggris. Buat apa? Saya malah merasa bangsa ini, bangsa yang rendah, padahal kita adalah bangsa yang berkebudayaan tinggi,” ujar Guruh.
Ai Siti Oktaviani, peneliti dari IKIP Siliwangi, Cimahi (Jawa Barat), mengkhawatirkan kebiasaan menggunakan bahasa asing di film Indonesia lambat laun akan melupakan dan menghilangkan rasa bangga terhadap bahasa sendiri. Dalam penelitian “Terdiskreditnya Bahasa Indonesia oleh Penggunaan Judul Berbahasa Asing dalam Perfilman Indonesia” (Ai Siti Oktaviani, dkk, 2018), para responden mengakui, judul film berbahasa asing lebih menarik dan bergengsi.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Prof. E.Aminudin Aziz, M.A., Ph.D., juga memprihatinkan situasi itu. “Penggunaan bahasa Inggris dalam film Indonesia menunjukkan masih rendahnya kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Mereka seperti masih merasa kurang bergengsi atau khawatir produknya tidak laku kalau menggunakan bahasa Indonesia,” ujar Aminuddin Aziz, ketika dikontak penulis.
Laku? Betulkah film-film Indonesia berbahasa Inggris tersebut laku semua? Ternyata tidak selalu. Film-film 2018 – Si Doel the Movie, A Man Called Ahok, dan Eiffel I’m in Love 2 – tergolong laris. Namun, pemenang FFI 2017, Night Bus, termasuk sepi penonton. Begitu juga yang beredar pada 2021 ini, Kuyang The Movie, jumlah penontonnya tak fantastis.@Lsf