login

GELIAT FILM HOROR DAN RELIGI DI DUNIA PERFILMAN INDONESIA

Jakarta – Dunia perfilman Indonesia beberapa tahun belakangan ini diramaikan dengan kemunculan film-film dengan genre horor dan religi yang menarik jutaan penonton. Berlandaskan kenyataan tersebut, maka Lembaga Sensor Film (LSF) melaksanakan webinar yang mengangkat tema “Film Horor dan Religi dalam Perspektif Agama” pada Kamis (24/9). Webinar ini merupakan rangkaian dari seri webinar Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri (BSM) yang merupakan salah satu program unggulan LSF.

Webinar yang dipandu oleh moderator Tri Widyastuti Setyaningsih, Ketua Subkomisi Penyensoran LSF RI ini menghadirkan beberapa narasumber dan penggiat dunia perfilman seperti: Manoj Punjabi, Pendiri MD Entertainment; Asma Nadia, Penulis Novel untuk Film; Prilly Latuconsina, Aktris Film; Muhyiddin Djunaidi, Wakil Ketua Umum MUI; dan Nasrullah, Ketua Komisi I LSF RI. Turut hadir pula sebagai pembicara kunci yaitu Abdul Kharis Almasyhari, Wakil Ketua Komisi I DPR RI.

“LSF bukan membatasi tetapi melihat apakah sebuah film sudah sesuai dengan koridor perundang-undangan yang ada. Batasan undang-undang tersebut membuat LSF berhak menegur, memanggil atau meminta Pemilik film untuk merevisi. Tujuannya adalah mengantisipasi dampak yang mungkin muncul dari sebuah film di masyarakat. Dengan adanya LSF paling tidak ada mediasi di awal sebelum sebuah film tayang,” demikian penuturan Wakil Ketua Komisi I DPR RI.

Hal serupa ditambahkan oleh Ketua Komisi I LSF RI, Nasrullah yang  menguraikan lebih detail mengenai undang-undang yang dimaksud dalam paparannya, yaitu hal-hal apa saja yang sensitif dalam sebuah film sebagaimana tercantum dalam UU No 33 Tahun 2009 Pasal 6 tentang Perfilman.

“Dalam hal ini LSF berkomitmen kuat bahwa film-film yang yang akan ditonton oleh masyarakat baik itu film horor maupun religi sudah dikaji dan dilihat layak atau tidak untuk ditonton oleh masyarakat umum. LSF juga mendorong pembuat film untuk memperhatikan hal-hal yang sensitif tersebut dan tidak berlebihan.”

Berdasarkan rekapitulasi data yang dimiliki Lembaga Sensor Film pada tahun 2019, jumlah film bergenre horor yang masuk ke Lembaga Sensor Film sejumlah 132 film, sedangkan film bergenre religi sejumlah 2 film. Data ini menunjukkan perbedaan jumlah yang signifikan antara film horor dan religi. Manoj Punjabi menyebutkan dalam paparannya bahwa ada kesulitan tersendiri dalam memproduksi film bergenre religi. Hal ini dikarenakan harus ada elemen khusus yang berbeda dalam meramu sebuah film religi di layar lebar.

“Sebenarnya definisi film religi itu luas maknanya, tidak selalu harus dengan tokoh yang berjilbab, bercelana cingkrang atau berjanggut. Tetapi film religi menurut saya semua film yang mempunyai nilai universal, yang menyentuh, yang mencerahkan dan mempunyai pesan tanpa menghilangkan unsur mengiburnya dan membuat orang menjadi lebih baik itu adalah film religi,” ujar Asma Nadia.

Hal serupa juga ditambahkan oleh Prilly Latuconsina.“Ada tantangan tersendiri untuk memenuhi unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam sebuah film seperti informatif, edukatif, dan juga menghibur. Bagaimana film yang berkualitas tetapi juga komersil dan box office. Sehingga mematahkan stigma bahwa film bagus atau film festival pasti tidak masuk box office dan film-film box office pasti tidak mendidik. Sehingga membuat kita sebagai aktris berpikir how we can educate our audience but at the same time we also entertain them.”

Wakil Ketua MUI, Muhyiddin Djunaidi juga menyayangkan memang pada kenyataannya banyak juga film yang tidak membawa misi pendidikan, destruktif dan cenderung dapat merusak moral.

“Oleh karena itu diperlukan upaya maksimal dari LSF bagaimana caranya untuk memantau film-film yang dapat merusak akhlak generasi bangsa kita. Mudah-mudahan LSF dan terutama insan-insan perfilman di Indonesia dapat menciptakan karya-karya yang monumental dan mendidik di masa yang akan datang,” harapnya. (*)