slot gacor slot gacor slot gacor slot gacor slot gacor FILM BERBASA DAERAH: MERAJUT DAN MERAWAT KEINDONESIAAN – Lembaga Sensor Film Republik Indonesia

login

FILM BERBASA DAERAH: MERAJUT DAN MERAWAT KEINDONESIAAN

Oleh: Noorca M. Massardi (Anggota LSF)

Ketika keberagaman, kebinekaan, dan kebudayaan Indonesia terancam ideologi radikal yang berniat mengharamkannya, sejumlah sineas Indonesia sesungguhnya telah melakukan “perlawanan” dengan halus dan jenius.

Tak hanya terhadap ancaman hegemoni barat dengan kapitalismenya, tapi juga terhadap ideologi lain yang bersifat radikal, ekstrem, dan sektarian. Antara lain, dengan memproduksi film-film berbasa daerah dengan latar budaya, adat, kearifan, dan tradisi lokal.

Memang, mulanya, membuat film berbasa daerah, semata kepentingan pasar dan idealisme. Terutama, mengingat insan film daerah merasa tidak mampu, dan memang tidak perlu, melawan industri film barat dan film nasional yang cukup massif.

Selain itu, insan film di daerah, dengan sumber daya dan sumber dana terbatas, ingin membuat film dengan tema dan setting lokal untuk lingkungan masyarakat sekitarnya. Sementara, sistem dan distribusi film bioskop saat ini, belum memungkinkan film berbasa daerah diedarkan secara nasional, mengingat sedikitnya pengguna basa daerah tersebut.

Toh, yang terjadi pada Uang Panai (karya Asril Sani dan Halim Gani Safia, 2016), produksi Makassar dan berbasa Bugis-Makassar, menjadi fenomena tersendiri. Film itu tak hanya box office di Makassar atau Provinsi Sulawesi Selatan, tapi juga di beberapa kota dan provinsi lain.

Para sineas jadi terilhami membuat film daerah. Yo Wis Ben (Fajar Nugros, 2018), yang sebagian besar menggunakan basa Jawa Timur, juga melahirkan fenomena tersendiri. Bukan hanya karena pengguna basa Jawa (Timur) sekitar 40 juta jiwa – terbesar kedua di Indonesia – melainkan karena pilihan tema dan ceritanya universal. Tak aneh kesuksesan Yo Wis Ben melahirkan empat sekuel berikutnya.

Secara bisnis, meraih penonton film berbasa daerah di provinsi masing-masing, sesungguhnya tidaklah sulit. Bila box office film nasional pada kisaran satu juta hingga 10 juta penonton, film berbasa daerah dengan 300 ribu penonton, sangatlah mungkin. Sebagaimana Uang Panai di Sulawesi Selatan, dengan populasi sekitar 9 juta jiwa pengguna basa daerah Makassar dan Bugis, ternyata tidak terlampau sulit meraih 500 ribu penonton.

Apalagi bila melihat populasi Jawa Barat dan berbasa Sunda, yang terbesar di Indonesia (50 juta) atau Jawa Tengah dan Yogyakarta (38 juta) yang berbasa Jawa, atau Sumatera Utara (15 juta) yang berbasa Batak. Alangkah luasnya potensi penonton film berbasa daerah. Film-film berbasa daerah dengan tema, cerita, dan setting lokal, juga memiliki kedekatan sosial dan psikologis yang kuat dengan para (calon) penontonnya.

Bahkan film berbasa dan berbudaya daerah, sebagaimana film Yuni yang berbahasa Jawa Serang dan Before, Now & Then (Nana) yang berbasa Sunda– keduanya karya sutradara perempuan Kamila Andini –  tidak hanya mampu menampilkan keragaman budaya Indonesia di tingkat nasional, tetapi juga di  kancah internasional melalui sejumlah festival film terkemuka.

Fenomena pertumbuhan film-film berbasa daerah, termasuk juga Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017) yang berbasa NTT, Siti (Eddie Cahyono, 2014) yang berbasa Jawa, Liam dan Laila (Arief Malinmudo, 2018) yang berbasa Minang, Turah (Wicaksono Wisnu Legowo, 2016) yang berbasa Jawa Tegal, Ziarah (BW Purba Negara, 2017) yang berbasa Jawa, atau Ambo Nai Sopir Andalan (Andi Burhamzah, 2022)yang berbasa Bugis, sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan.

Benjamin S. sudah melakukannya dalam film-film komedi Betawinya pada era 1970-an. Tentu saja, ketika itu tidak sepenuhnya dilandasi kesadaran “menjual” Betawi, sebagai salah satu budaya Nusantara di Jakarta, dengan jumlah populasi sekitar 4 juta jiwa saat itu. Harus diakui, film-film yang dibuat dengan kesadaran penuh menggunakan dan menampilkan kultur lokal, basa daerah, baru menguat dan menjadi trend positif pada era pascareformasi ini.

Kendati pada awalnya semata kepentingan kedekatan pasar, pada gilirannya, justru muncul kesadaran dan keyakinan sineas lokal dan nasional untuk menampilkan keluhuran budi, kearifan, keunikan, dan keistimewaan daerah ke tingkat nasional/internasional.

Oleh karena itu, kebangkitan dan kesadaran para sineas pusat dan daerah untuk memproduksi dan menciptakan film-film daerah dengan muatan tema dan cerita berdasarkan adat, tradisi, budaya, kearifan, dan basa lokal, sungguh merupakan salah satu “senjata” utama menangkal dan memadamkan pengaruh budaya asing yang berkeinginan menghapus bahkan mengharamkan kekayaan budaya Indonesia. Apalagi, kekayaan dan keanekaragaman suku, agama, ras, dań golongan di negeri ini, merupakan rahmat Tuhan yang tiada duanya di muka bumi ini.

Dengan 34 provinsi, lebih dari 300 kelompok etnik/suku bangsa, 700 lebih bahasa daerah, dan 270 juta populasi nasional, alangkah dahsyatnya potensi kekuatan, kekayaan, dan keberagaman industri perfilman kita saat ini dan ke depan. Sesuatu yang tidak hanya turut memperkaya konten media sosial di tingkat nasional, juga sangat diperhitungkan dalam jaringan informatika global. Sebagaimana kita tahu, sejak lama mesin pencari google dan wikipedia, telah menggunakan basa daerah di dalam perangkat pencarian dan penerjemahan seluruh kontennya.

Harus diakui dan disadari sepenuhnya, karya seni budaya daerah di NKRI ini sungguh tidak ada batasnya. Tidak akan ada satu kekuatan pun yang mampu membunuhnya. Tinggal bagaimana para kreator dan seniman, terutama sineas, sastrawan, penari, perupa, pegiat teater mampu dan bersungguh-sungguh memanfaatkan peluang dan tantangan yang tidak hanya sangat luas, tapi juga memiliki kedalaman nilai-nilai luhur dan universal. Sok atuh. Monggo. Sila. Gih…! @Lsf

Skip to content