login

DIALOG BERSAMA PAKAR KOLABORASI KEMENKES B-POM: PENTINGNYA MEMAHAMI IKLAN ROKOK DAN OBAT-OBATAN

Jumat, 1 April 2022, LSF menyelenggarakan diskusi film dan iklan film di Hotel Century Park Jakarta. Diskusi ini mengusung tema “Mutu film dalam perspektif BPOM-Kemenkes RI,  Kolaborasi untuk Integrasi Penyensoran Film dan Iklan Film”.

Acara dengan moderator Tri Widyastuti Setyaningsih ini dibuka oleh Wakil Ketua LSF, Ervan Ismail  dengan  narasumber dari Kementerian Kesehatan yaitu Dr. Imran Agus Nurali Sp.KO dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan yaitu Dra.Muhti Okayani, Apt., M.Epid dan Sondang Widya Estikasari, S.Si, Apt, MKM.

Menurut Imran, regulasi yang diterbitkan berkaitan dengan iklan masih mengatur tentang iklan produk yang berdampak atau menghambat program kesehatan seperti produk hasil tembakau, meliputi rokok konvensional, rokok elektronik dan produk lainnya. Produk susu, yang diatur secara khusus adalah susu bayi dibawah 1 (satu) tahun serta produk minuman beralkohol.

“Untuk aturan iklan hasil tembakau diperuntukan di media massa sudah diatur dalam peraturan pemerintah, begitu juga dengan iklan susu formula diperuntukkan di media massa, baik cetak maupun elektronik,” jelasnya.

Dengan adanya peraturan itu,  ada harapan bagi insan perfilman Indonesia, yaitu  melarang iklan rokok dan susu formula pada jeda penayangan film baik melalui TV maupun bioskop, melakukan tindakan sensor film yang melakukan adegan merokok dan menampakkan batang rokok.

 Sementara, Dra. Muhti Okayani, Apt., M.Epid dari BPOM lebih menjelaskan tugas dan fungsi BPOM serta kebijakannya terhadap promosi iklan obat di media massa.

Dikatakannya, BPOM  melakukan pengawasan dari research and development , jadi obat itu dikembangkan di industri, kemudian mendaftar di BPOM sampai mendapatkan sertifikat cara pembuatan obat yang baik, kemudian pengawasan juga dilakukan selama proses distribusi obat, kemudian pengawasan saat obat itu sudah berada dipasaran.  

“Kami juga melakukan monitoring iklan promosi dan label produk. Tentunya semua ini dilakukan untuk melindungi masyarakat agar obat itu aman digunakan dan meningkatkan kesehatan masyarakat dan daya saing bangsa,” ujarnya .

Dikatakan Muhti Okayani, persyaratan mutlak untuk  iklan  obat adalah  objektif, lengkap dan tidak menyesatkan. Ketentuan umum lainnya, boleh diiklankan setelah memiliki nomor izin edar, memenuhi persyaratan, obat yang diiklankan hanya obat yang termasuk dalam daftar obat bebas dan obat bebas terbata. Untuk obat keras hanya boleh diiklankan kepada tenaga kesehatan pada media forum ilmiah kedokteran/kefarmasian.

Selain itu, lanjut Muhti, dalam pedoman pengawasan periklanan juga diatur larangan mencantumkan klaim aman dan tanpa efek samping, mencantumkan  klaim penghargaan seperti klaim nomor satu, superbrand atau sebagai pruduk best brand.

Tri Widyastuti Setyaningsih, menyatakan bahwa LSF sudah menjadikan peraturan BPOM sudah menjadi acuan LSF dalam melakukan penyensoran promo atau iklan obat.

 Sondang Widya Estikasari, S.Si, Apt., MKM, lebih menjelaskan tentang peraturan dan perundang-udangan yang mengatur tentang pengawasan iklan pangan dan olahan di Indonesia. Banyak regulasi dan peraturan yang mengatur tentang iklan pangan antara lain; Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun  1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Diskusi semakin hangat ketika para peserta diskusi mempertanyakan tentang iklan-iklan yang disensorkan berdasarkan pengalaman tim sensor. Salah satunya diungkapkan anggota LSF, Kuat Prihatin tentang iklan rokok.

Kuat Prihatin menjelaskan, banyak iklan rokok yang disensorkan dan isinya tidak ada sangkut pautnya dengan rokok tetapi lebih sebagai iklan layanan masyarakat, namun dibelakangnya ada logo perusahaan pembuat rokok tersebut, yang bukan produk rokoknya. “Apakah iklan seperti itu  kategori ikan rokok atau bukan?,” tanya Kuat Prihatin.

Dr. Imran menyatakan, iklan seperti itu tergantung persepsi yang menonton atau yang menyensor. Dr. Imran sendiri berpendapat  selama tidak  menggambarkan konten rokok,  serta bukan menampilkan produk rokoknya, hanya sekedar greetings, tidak masalah dan bukan iklan rokok. “Selama tidak mengesankan produk rokok, menurut saya bukan iklan rokok” ujarnya.

Suhartini/Arinda P/ Tenaga Sensor